MELAWAN IDEOLOGI SEKULER #1 Editorial
Salah satu model sistem sekuler adalah demokrasi. Demokrasi dipercaya sebagai paham dan system yang bisa meredam kesewenang-wenangan penguasa yang otoriter. Pihak Barat senantiasa berupaya meyakinkan bahwa perdamaian dunia hanya bisa terjadi jika seluruh Negara menjalankan demokrasi. Menurut mereka tidak pernah ada dua Negara demokratis yang saling melakukan agresi. Demokrasi juga dikampanyekan akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi serta mencegah terjadinya perang sipil atau perang saudara di internal Negara yang mengadopsi system tersebut.
Apa yang digembar-gemborkan barat tentang keunggulan demokrasi tidak terbukti. Revolusi Perancis 1789 menunjukkan bahwa proses demokrasi telah memicu pertarungan antar kelompok masyarakat yang paling berdarah di daratan Eropa. Di negeri-negeri yang heterogen / multi etnis yang tidak diikat oleh ideologi tertentu, demokrasi justru bisa meledakkan perpecahan SARA. Pada 1993 pihak barat menekan Burundi untuk menyelenggarakan pemilu, dan hanya dalam satu tahun proses demokrasinya, 50.000 orang suku Hutu dan Tutsi berbantai dalam kerusuhan paling ganas dibenua Afrika. Di Yugoslavia setelah kematian Tito yang otoriter, percobaan demokrasi menyebabkan perang Balkan dan mencabik-cabik negeri itu dengan korban manusia, terutama kaum muslimin Bosnia yang sangat mengenaskan.
Kasus Indonesia
Diawal berdirinya negara bangsa yang namanya Indonesia, masyarakat terobsesi tentang persatuan dan kesatuan yang langgeng atas dasar persamaan nasib dan cita-cita kesejahteraan bersama. Segera setelah proklamasi kemerdekaan, obsesi itu buyar karena elit politik juga merasa berkewajiban untuk tunduk dan taat kepada janji yang mereka ciptakan sendiri. Kabinet Syahrir langsung mendapatkan perlawanan dari temannya sendiri, Tan Malaka disatu pihak dan Amir Syarifudin yang nyata-nyata menegaskan dirinya sebagai seorang Komunis.
Pada tahun 50-an PRRI/ Permesta melakukan pemberontakan. Kemudian pada 1965, PKI melakukan kudeta berdarah yang berlanjut dengan berbagai bentuk kekejaman pemerintah Orba terhadap lawan-lawan politiknya.
Gerakan Darul Islam (DI/TII) di Jabar dan Aceh yang memperjuangkan Syari’at Islam ditumpas dengan cara-cara licik seperti pembusukan dan kriminalisasi gerakan Islam.
GAM (Gerakan Aceh Merdeka) muncul kembali di awal 80-an dalam tuntutan yang berbeda, yakni redistribusi bagi hasil sumber daya alam bagi masyarakat Aceh yang lebih besar. Untuk sementara perlawanan GAM bisa diselesaikan secara damai melalui perjanjian Helsinski, tetapi munculnya partai lokal yang menyebut dirinya partai GAM menjadi isu baru bahwa keinginan memisahkan diri dari NKRI sesungguhnya menjadi sesuatu yang laten dan bisa bermanifes melalui jalur demokrasi (referendum).
Tidak banyak orang yang paham bahwa kerusuhan Ambon pada tanggal 19 Januari 1999 merupakan kelanjutan dari peringatan hari ulang tahun RMS ke 49 yang lahir pada tanggal 18 Januari 1950. Para analis mengabaikan keterkaitan peristiwa itu dengan kembalinya orang-orang RMS dari Belanda ke Ambon yang diterima oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid. Tentu Syarwan Hamid menerima mereka dalam upaya memantapkan reformasi yang ditandai dengan semangat demokrasi dan rekonsiliasi. Tetapi tidak banyak pengetahuan kita bahwa Republik Maluku Selatan terlahir dengan basis ideologi, dan bukan semata-mata masalah kesejahteraan dan keadilan belaka.
Mansyur Suryanegara pakar sejarah UNPAD mengatakan, bahwa RMS bukanlah singkatan dari Republik Maluku Selatan, melainkan Republik Maluku Sarani (istilah Protestan di Maluku) yang diubah dalam penulisan sejarah sebagai upaya pemerintah meredam berkembangnya perang agama.
Ideologi Protestan sebenarnya lebih ditujukan untuk melawan Katolik seperti di Erofa pada awal bangkitnya Calvinisme abad ke 16. Perang agama Protestan melawan Katolik di Erofa di ekspor dari Belanda ke Indonesia, padahal bangsa Indonesia tidak pernah menjadikan agama sebagai alasan untuk melancarkan peperangan. Theo Syafei yang Katolik, menuturkan sejarah perang sipil di Ambon, bukanlah antara Islam dan Protestan, melainkan antara Protestan dan Katolik yang dalam satu malam orang Protestan berhasil membunuh 15.000 orang Katolik. Keterangan Theo Syafei ini jika benar bisa menjelaskan bahwa RMS adalah gerakan yang sangat ideologis.
Orang Ambon Protestan di jaman Belanda sangat dimanjakan. Tetapi sejarah telah membuat mereka terlempar dan banyak meninggalkan kampung halaman dengan memilih tinggal di negeri Belanda. Kembalinya mereka ke Indonesia telah menimbulkan semangat baru untuk menggunakan reformasi sebagi inspirasi bangkitnya kembali RMS.
Dalam pemaknaan protestan istilah reformasi adalah perlawanan terhadap Katolik seperti yang terjadi di Eropa.
Gerakan reformasi di Jakarta lantas dianggap sebagai imbangan terhadap komunitas Katolik Timor-Timur yang kemudian memperoleh kemerdekaannya. Bagi mereka, jika orang Katolik bisa merdeka maka Protestan- pun harus memperolehnya. Itulah yang dimaksud bahwa gerakan RMS bersifat laten dan ideologis.
Lain halnya dengan Papua. Tatkala seratus orang wakil masyarakat Papua berdialog dengan Presiden BJ. H. Bibie di Jakarta pada 26 Februari 2000, seluruh persoalan Papua dikemukakan dalam pertemuan tersebut. Berbagai persoalan itu diantaranya adalah : eksistensi sosial dan budaya masyarakat Papua yang diabaikan selama 40 tahun bergabung dengan Indonesia. Adanya manipulasi sejarah, khususnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dijalankan secara musyawarah dan mengabaikan kelaziman one man one vote seperti yang diisyaratkan oleh PBB. Termasuk, tidak dilibatkannya bangsa Papua dalam proses pembangunan dan kegiatan ekonomi, serta berbagai pelanggaran hak azasi manusia.
Masyarakat Papua beranggapan bahwa kekayaan alam mereka di eksploitasi oleh pusat, sementara pembangunan dan kesejahteraan rakyat terabaikan. Penduduk lokal dilarang menebang pohon, tetapi mereka menyaksikan pemilik HPH membabat hutan semaunya. Tenaga pendidik dan kesehatan yang dikirim ke Papua bekerja setengah hati, dan menolak bertugas dipedalaman. Program transmigrasi dilakukan secara sepihak dan tidak berbaur karena alasan kultural. Dalam kompetisi dengan kaum pendatang, membuat orang Papua semakin terpinggirkan. Masyarakat terdidik Papua acap kali mengatakan, bahwa secara historis Papua bukanlah bagian dari Indonesia. Menurut mereka pelanggaran Ham yang dilakukan oleh TNI dan aparat keamanan telah memicu keinginan masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.
Sikap Islam (bersambung...)
Dikutip dari : -
Penulis : Kol. (Purn) Y. Herman Ibrahim, Anggota Dewan Pakar ANNAS
Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share. Lets change the world together saudaraku !...
Comments