PETUNJUK ISLAM KETIKA DITIMPA MUSIBAH Oase Iman
Islam telah mengajarkan kepada kita adab ketika tertimpa musibah. Pembunuhan terhadap Husein adalah musibah yang besar. Tetapi sebesar apa pun tidak lantas menjadi pembenar untuk melanggar larangan meratap ratap (niyahah) yang sudah jelas hukumnya. Apalagi melukai diri sendiri. Maka di antara adab-adab Islam dalam menghadapi musibah adalah:
a) Sabar. Ini adalah adab Islam yang paling agung. Seorang mukmin harus bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Wujud kesabaran itu adalah menahan hati agar tidak marah, menahan lidah dari ungkapan keluh-kesah, dan menahan anggota tubuh dari hal-hal yang dimurkai oleh Allah swt, seperti memukul-mukul pipi, merobek robek baju, melukai wajah, mencabuti rambut, dan berteriak-teriak jahiliah. Kesabaran seharusnya dilakukan ketika seseorang mendengar musibah pada awalnya. Rasulullah saw bersabda, “Sabar itu ketika benturan pertama.”
b) Mengharapkan pahala. Seorang muslim harus berharap pahala dari Allah swt atas kesabarannya terhadap musibah. Jadi, ia bersabar karena mencari pahala, karena Allah swt telah memerintahkannya untuk bersabar. Allah swt berfirman, “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqmân: 17). Ketika seorang Muslim kehilangan seseorang yang mulia di sisinya, dia mengingat sabda Rasulullah saw:
“Tidak ada balasan yang pantas di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku mencabut nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia rela dan bersabar kecuali surga.”
Demikianlah Allah swt telah menjanjikan pahala yang besar atas kesabaran terhadap musibah kematian. Tetapi, dengan syarat kesabaran itu ikhlas demi Allah swt, seperti disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabb mereka ….”(Ar-Ra’d: 22).
Jadi, kesabaran itu karena Allah swt. Bukan kesabaran orang yang kalah, melainkan kesabaran seseorang yang ridha terhadap ketentuan Allah dan berserah diri kepada-Nya.
c) Istirja’ dan berdoa. Orang yang mendapatkan musibah mestinya mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilahi rojiun. Allahumma ajirnii fii musibatii wakhluflii khairan minhaa “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Ya Allah, berilah kami pahala karena musibah ini dan gantilah dengan yang lebih baik daripadanya untukku.”
Allah swt berfirman, “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Al-Baqarah: 155 – 157). Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah lalu ia membaca apa yang telah diperintahkan oleh Allah: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Ya Allah, berilah kami pahala karena musibah ini dan gantilah dengan yang lebih baik daripadanya untukku, melainkan Allah menukar dengan yang lebih baik baginya.” Ketika seseorang menghadapi sesuatu yang menyulitkannya, beliau memberikan petunjuk agar ia mengucapkan: “Wahai Zat Yang Mahahidup, wahai Zat yang terus-menerus mengurus makhlukNya, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan.”
d) Menjauhkan segala hal yang membuat Allah murka. Di antaranya adalah berteriak-teriak histeris, memukul pipi, merobek-robek baju, mencukur gundul rambut, meratap-ratap, mengeluh kepada manusia, berdoa agar mati saja, celaka dan lain-lain. Ini semua membuat Allah swt murka dan bertentangan dengan kesabaran dan rela terhadap musibah.
e) Menganggap ringan musibah kematian dengan mengingat wafatnya Rasulullah saw. Hal itu karena wafatnya Rasulullah saw dan terputusnya wahyu dari langit merupakan musibah paling besar bagi umat ini. Jika seseorang yang tertimpa suatu musibah mengingat musibah yang besar itu, musibahnya yang menimpanya terasa lebih ringan. Karena, musibah yang besar itu tidak akan menjadi ringan kecuali dengan mengingat musibah yang lebih besar daripada itu. Rasulullah saw telah bersabda, “Jika seseorang di antara kalian tertimpa suatu musibah, hendaklah dia mengingat (membandingkan) musibahnya itu dengan musibah wafatku. Karena, wafatku adalah musibah yang paling besar.”
f) Melihat sisi lain dalam suatu musibah Pembunuhan terhadap Husein ra memang musibah yang besar, tetapi itu merupakan kebaikan dan pemuliaan terhadapnya. Ibnu Taimiyyah rah berkata, “Ketika Husein ra dibunuh pada Hari Asyura’ oleh sekelompok orang yang zalim yang durhaka, Allah swt telah memuliakan Husein dengan gugur syahid, sebagaimana Allah telah memuliakan beberapa orang di antara keluarganya dengannya. Dia telah memuliakan Hamzah, Jakfar, dan Ali ayahnya dengan kesyahidan. Kesyahidannya merupakan pengangkatan derajat dan peninggian kedudukan oleh Allah baginya. Dia dan saudaranya, Hasan adalah pemimpin para pemuda di surga. Kedudukan yang tinggi ini tidak didapatkan kecuali dengan cobaan, sebagaimana sabda Rasulullah saw ketika ditanya, Siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang di bawah mereka, dan seterusnya. Sungguh seseorang itu diuji berdasarkan agamanya. Bila agamanya kuat, ujiannya pun berat. Sebaliknya bila agamanya lemah, ia diuji berdasarkan agamanya. Ujian tidak akan berhenti menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi dengan tidak mempunyai kesalahan.” Hasan dan Husein telah mendapatkan kedudukan yang tinggi dari Allah. Musibah yang menimpa keduanya tidaklah seperti musibah yang menimpa para pendahulunya yang mulia. Keduanya dilahirkan pada waktu Islam mengalami kemuliaan dan keduanya dididik dalam kemuliaan dan keagungan. Kaum muslimin mengagungkan dan memuliakannya. Rasulullah saw meninggal dan keduanya belum mencapai dewasa. Jadi, Allah swt menguji keduanya agar menyamai para keluarganya dengan musibah itu dan ini merupakan kenikmatan bagi keduanya. Karena, orang yang lebih baik daripada keduanya juga sudah diuji. Ali bin Abi Thalib ra lebih utama daripada keduanya dan dia juga terbunuh sebagai syahid.”
g) Mengingat takdir. Seorang muslim itu ketika yakin bahwa musibah sudah ditulis dan sudah ditetapkan, musibah akan terasa ringan (baca: sabar) baginya. Kapan saja ia menghadirkan keyakinan dalam pikirannya bahwa apa yang sudah Allah saw tetapkan pasti akan menjadi kenyataan yang tidak ada jalan untuk menghindar darinya, musibah tidak akan membuatnya kalap. Allah memiliki hikmah dalam penetapan musibah tersebut. Allah swt telah berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri kecuali telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadîd: 22 – 23).
Dikutip dari : kiblat.net
Penulis : -
Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share. Lets change the world together saudaraku !...
Comments